-->

`Wasiat` Terlupakan dari Arie Hanggara

- 1/05/2018

Soreini.com - Baru-baru ini, media sosial dipenuhi dengan postingan dari warga internet (netizen) yang begitu tersentuh dengan kisah nyata seorang anak yang meninggal karena perlakuan s4dis kedua orangtuanya. Namanya, Arie Hanggara.

Orang yang terlahir pada era 80 an, mungkin masih menginggat kep3dihan yang dialami bocah bertub*h mungil, Arie Hanggara. Namun, orang yang terlahir pada 90 an, banyak yang melupakan.

Kini, kisah memiluk4n Arie Hanggara kembali mengada, setelah viral di media sosial, sebuah postingan kabar lama yang dibagikan para netizen.

Penelusuran Soreini.com, pada 5 Januari 2018, sumber pertama yang mengenang kisah memilukan ini, dari warta yang diterbitkan liputan6, pada 7 April 2014 yang lalu. Sampai hari ini, warta itu masih bisa diakses. berikut kisahnya:


`Wasiat` Terlupakan dari Kubur4n Arie Hanggara...


`Wasiat` Terlupakan dari Kubur4n Arie Hanggara...


Musa mengeryitkan dahi saat mendengar sebuah nama disebut. “Siapa? Arie Hanggara? Kan sudah lama meningg4lnya,” kata dia. “Biasanya orang ke sini nyarinya ‘pastur kepala buntung’.” Hantu itu konon bisa menampakkan diri pada malam Jumat, di depan siapapun yang masuk area p3kub*r4n dengan jumlah ganjil. Sendirian, bertiga, berlima, …

Penampakan tanpa k3pala, kuntil4nak, segala macam memedi – Musa si penjaga m4kam sudah biasa mendapat banyak pertanyaan soal ‘penunggu’ Tempat Pem4kaman Umum (TPU) Jeruk Purut -- tempatnya mencari penghidupan. Bahkan tak jarang ada yang sengaja datang malam hari. Untuk uji nyali.

Meski begitu, Musa tahu benar di mana letak pusara Arie Hanggara. Tak jauh dari pintu masuk utama, hanya sekitar 100 meter jauhnya. Di sebelah kiri. Tepatnya di Blok AA II.

K*bur4n batu hitam berukuran 2x1 meter itu kontras dengan m4kam-m4kam di sekitarnya. Tak terurus, ditumbuhi rumput liar, dan usang dimakan waktu. Tulisan di nisan dari marmer putih nyaris terhapus sepenuhnya. Pun dengan goresan ‘Maafkan Papa’ dan ‘Maafkan Mama’ yang berada di kanan dan kiri. Untung, sejak pertama kali dikubur, pusara Arie langsung diberi pembatas hingga tak sampai tergerus hujan.

Agustini mengaku nelangsa melihat k*bur4n itu. Perempuan 48 tahun itu sama sekali tak ada hubungan dengan almarhum. Tapi, ia ada di sana saat Arie dikebumikan 30 tahun lalu, saat TPU Jeruk Purut belum seramai dan serapi sekarang. Sebuah upacara penguburan yang mengharu biru, tangis banyak orang pecah ketika jasad kecil itu dimasukkan ke liang lahat.

“Aduh saya mah mau nangis aja kalau ingat lagi kisahnya. Sampai sekarang sudah meninggal juga k*bur4nnya dibiarin aja begitu nggak diurus. Kasihan, hidupnya di4ni4ya sama orang tuanya, meninggalnya dilupain,” ujar pemelihara m4kam itu.

Sejak tahun 2000, jarang ada yang ziarah ke m4kam Arie Hanggara. Sopian, petugas TPU Jeruk Purut mengatakan, biaya administrasi -- yang harus dibayar 3 tahun sekali -- sudah menunggak 5 tahun. “Kalau sudah nggak dibayar selama 3 periode atau 9 tahun (m4kam) itu bisa ditumpuk,” kata dia.

Dari catatan administrasi, tertera nama Nyonya Dahlia. Alamat rumahnya di daerah Pengadegan Timur, Kalibata, Jakarta Selatan. Namun, saat didatangi, perempuan itu tak ada di sana.

Warga sekitar berujar, rumah bernomor 10 itu dulunya memang rumah Machtino bin Eddiwan dan Santi – ayah dan ibu tiri Arie. Sejak 2004 rumah itu dijual dan sudah berpindah tangan. “Kalau Machtino dan Santi saya tahu, Machtino meninggal tahun 2004 dan sejak itu rumahnya dijual,” kata warga bernama Rizki. Ia tak mengenal siapa Dahlia. Penelusuran Liputan6.com, nama ibu kandung Arie adalah Dahlia Nasution.

Arie Hanggara tutup usia pada 8 November 1984

Arie Hanggara tutup usia pada 8 November 1984, usianya belum genap 8 tahun saat itu. Bocah kecil itu tew4s di4ni4y4 ayah kandungnya sendiri. Dikompori sang ibu tiri.

Dengan dalih mendisiplinkan anak atau mungkin melampiaskan kekesalan karena frustasi jadi pengangguran, Machtino kerap menghajar Arie. Pipi kecil itu ia t4mp4r berkali-kali sekuat tenaga, m3mukul1nya dengan gag4ng sapu, mengik4t kaki dan t4ngan si anak kedua, disuruh berdiri jongkok sampai ratusan kali. Arie pun kerap ‘disetrap’, termasuk di kamar mandi bertegel dingin.

“Hadap t3mbok!” teri4kan ini sempat didengar tetangga pada malam itu. Dini harinya, bocah yang kepayahan itu tak lagi bisa bertahan. Ia ditemukan 4mbruk dengan tubuh k4ku. Machtino dan Santi menyesal ber4t, tapi waktu tak bisa diputar ulang kembali.

K4m4ti4n Arie Hanggara bikin gempar kala itu. Orang-orang tak habis pikir, mengapa bisa orangtua menyiksa anaknya sendiri hingga m4ti. Kok tega? Rekonstruksi pembunuhan harus diulang beberapa kali karena massa selalu berjejal, tak hanya menonton, tapi gemas ingin menghakimi Machtino dan Santi.

Seluruh media massa mengangkat kisah Arie

Seluruh media massa mengangkat kisah Arie. Salah satunya, Majalah Tempo yang memuat judul panjang di halaman mukanya: “Arie namanya. Ia m4ti dihukum ayahnya. Mungkin anak kita tidak. Tapi benarkah kita tidak k3j4m?”

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nugroho Notosusanto juga sempat berniat membuatkan patung Arie sebagai peringatan agar kasus serupa tak terulang di masa mendatang. Tapi batal.

Nestapa Arie Hanggara dibangkitkan kembali dalam sebuah film, dengan judul sama dengan namanya. Film besutan Frank Rorimpandey itu ditonton ratusan ribu orang – yang `membanjiri’ bioskop dengan air mata.



Arie adalah simbol dari anak-anak yang t3rtind4s. Namun kini, seiring waktu berlalu, tak cuma m4kam dan namanya yang terlupakan. Ia seakan hanya menjadi sebuah kisah masa lalu.

Ini bukan hanya tentang Arie Hanggara. Ada banyak bocah di negeri ini yang menjadi korban peng4niay4an. Kasus kek3rasan terhadap anak makin sering terjadi, dianggap ‘biasa’, bahkan tak dirasa penting.

Dan seperti apa yang terjadi pada Arie Hanggara -- saat ini -- mau tak mau, suka tak suka mendengarnya, ini adalah fakta: sumber bencana bagi para bocah bisa jadi ada di rumah. 4ncman terbesar bagi anak bukan tak mungkin adalah orang-orang terdekat yang seharusnya melindungi dan mengayomi jiwa-jiwa kecil itu.

Ingat Rizky


Seperti yang baru-baru ini terjadi. Pada Rabu 18 Desember 2013, Muhammad Rizky Zaki dilarikan orangtuanya ke rumah sakit. “Demam.” Itu alasan yang diberikan pada paramedis. Apapun yang dilakukan padanya tak mempan. Tubuh bocah yang belum genap 3 tahun itu kaku dan biru.

Pada polisi, ayah kandung Rizky, Achen dan ibu tirinya, Rosalina mengaku leb4m dan mem4r di jasad anak itu akibat terbentur tembok saat m4ti lampu. Itu pengakuan dusta.

Yang benar, Rizky tew4s akibat menjadi p3lampiasan k3kecewaan orangtuanya. Dipuk*li, dib4nting. Berkali-kali. `Salah` bocah itu hanya karena dia rewel dan menangis karena merasa s4kit.

Ingat Adit


Dan jangan lupakan Raditya Atmaja Ginting alias Adit. Bocah 8 tahun itu ditemukan dalam kondisi kurus kering, berlumur4n d4rah, dan penuh ced3ra. Ada luk4 b4kar meng4nga lebar di punggungny4. Diduga akibat dis1ks4 ayah kandung dan ibu tirinya.

Adit ditel4ntarkan di perkebunan kelapa sawit PTPN V Tandun, Riau. Sengaja dibu4ng ke sana. Ia ditemukan seorang pedagang sayur pada Minggu 15 Desember 2013. Rintih4n dari bibirny4 menjadi pertanda keberadaannya, “Bang, tolong saya...”

Rintih4n yang sama disuarakan jutaan anak lainnya, dalam diam, yang terwakili oleh t4ngis mereka: “Tolong…”
Advertisement
comments